Perkembangan filsafat dari awal jaman hingga akhir jaman bagaikan air yang mengalir dari sumber mata air pegunungan hingga ke lautan yang luas. Dengan sumber mata airnya ada di zaman jaman dahulu, sedangkan hilirnya ada di jaman akhir atau modern. Berbeda dengan kehidupan di jaman dahulu yang masih murni apa adanya, kehidupan di zaman modern dipenuhi dengan hoax dan manipulasi politik sehingga kehidupan manusia bagaikan ikan kecil dilaut yang tercemar oleh limbah pabrik. Diibaratkan demikian karena perilaku ikan kecil yang terkena limbah pabrik berenang tak tentu dan tak beraturan seperti perilaku manusia di zaman modern yang kebingungan menentukan sikap. Maka berbahagialah seorang manusia yang masih menjadi ikan kecil yang berenang teratur, artinya manusia itu tidak termakan berita hoax.
Berita hoax di
zaman modern semakin merajalela diakibatkan mudahkan pertukaran informasi dalam
segala bahasa melalui informasi internet, media sosial, komunikasi dengan
aplikasi chat, Blogging, Media
Elektronik, dan lain-lain. Hampir semua kegiatan yang dilakukan manusia pada zaman
modern ini adalah bahasa. Prof. Marsigit menyampaikan bahwa sebenar-benar
filsafat adalah bahasa; sebenar-benar dirimu adalah bahasamu; sebenar-benar
rumahku adalah bahasa; dan sebenar-benar pikiran adalah bahasa. Hal ini
menunjukkan bahwa seseorang dapat dinilai dari apa yang ia ucapkan dan
ceritakan ke lingkungan sosialnya. Dalam hal ini filsafat ialah menyampaikan
apa yang ada di pikiran dan berusaha memahami apa yang ada di luar pikiran.
Meski tidak mungkin bagi orang untuk menyampaikan isi pikirannya benar-benar
secara utuh. Karena pemikiran manusia tidak mudah untuk direpresentasikan hanya
dengan bahasa.
Pada awal
mulanya pemikiran manusia (filsafat) terbagi menjadi dua dunia, yaitu dunia
langit dan dunia kenyataan. Kedua dunia itu cair dan padu. Akan tetapi pada
perjalanannya kedua dunia itu menjadi terkanalisasi, terpisah, tidak padu, dan
ada kecenderungan intolerisme. Hal ini dikarenakan perkembangan dan perbedaan
pemikiran antar satu individu dengan individu lain seiring perkembangan zaman.
Sehingga tidak dapat dipungkiri, munculnya dua kubu yang bertentangan itu pasti
terjadi. Dua kubu itu adalah spiritualisme dan materialism.
Keyakinan
(spiritualisme) berada di dunia langit, di dalamnya terdapat keyakinan akan
Tuhan Yang Maha Esa, prinsip dan aturannya adalah bersifat absolut
(absolutisme) dan tunggal (monoisme). Spiritualisme ini hendaknya dipahami
dengan menggunakan hati, ketetapan dan kebenaran Kitab Suci agama tak perlu
dipikirkan dengan pikiran, biarlah hati meyakini kebenaran tersebut, dan kita
laksanakan apa yang tertulis dan dinyatakan dalam Kitab Suci agama kita
masing-masing.
Sedangkan Prof. Marsigit
menekankan bahwa yang satu dan tunggal (monoisme), yang absolut (absolutisme)
hanya bisa dimiliki oleh Tuhan. Sebenar-benar prinsip monoisme dan absolutisme
adalah kuasa Tuhan yang sudah tertulis pada Kitab Suci Agama. Oleh karena itu
semua yang ada di dunia ini bersifat plural (pluralisme) dan relatif
(relativisme). Contohnya, seorang laki-laki saat ini ia adalah ayah dari
anak-anaknya, tetapi beberapa belas tahun yang lalu ia adalah anak remaja dari
ayahnya, sedangkan beberapa puluh tahun mendatang ia mungkin saja seorang kakek
dari cucu-cucunya. Maka seorang lelaki tersebut relative tergantung ruang dan
waktunya. Oleh karena itu penting bagi kita berperilaku sesuai ruang dan waktu.
Hal penting
selain ruang dan waktu ialah intuisi. Pada perkuliahan ini, Prof. Marsigit mengatakan
bahwa pada dasarnya kehidupan di dunia ini berjalan berdasarkan intuisi, yaitu
pengetahuan atau kemampuan yang dimiliki seseorang. Ciri-ciri sesuatu hal itu
adalah intuisi yaitu apabila hal tersebut dapat kita mengerti dan pahami tetapi
kita sendiri tidak ingat sejak kapan dan bagaimana kita memiliki kemampuan
tersebut. Sebagai contoh tentang konsep cinta, sayang, kasihan, cantik, jelek,
marah, bahagia, sedih, dan lain-lain. Kita mengerti dan mampu membedakan
masing-masing istilah tersebut, tetapi kita tidak ingat sejak kapan kita
mendapatkan konsep atau pengertiannya.
Hal penting
lain setelah intuisi adalah pengetahuan. Immanuel Kant berpendapat bahwa Ilmu
Pengetahuan itu didapatkan dengan cara sintetik apriori yaitu didapatkan dengan
cara apriori (dapat memahami suatu hal sebelum kita melihatnya mengalaminya
hanya dengan asumsi) atau dengan cara aposteriori (dapat memahami suatu hal
hanya setelah kita melihat atau mengalaminya).
Matematika
murni atau matematika orang dewasa bersifat apriori, yang mana menurut Immanuel
Kant belum cukup untuk disebut pengetahuan, sedangkan matematika sekolah atau
anak bersifat realisme, kongkrit dan aposteriori. Pada ranah pendidikan, suatu
pengetahuan di sekolah khususnya matematika bagi anak-anak didapat melalui cara
aposteriori. Sedangkan matematika orang dewasa merupakan pengetahuan dengan
cara apriori. Jika kita bandingkan matematika dewasa (matematika murni) dengan
matematika anak (pendidikan matematika) maka hasilnya akan sangat berbeda.
Sehingga Ilmu bagi anak itu tidak ada. Pengetahuan bagi anak itu didapat dari
pengalaman, sehingga seyogyanya setiap mata pelajaran yang disampaikan kepada
anak-anak sebaiknya berupa aktifitas-sktifitas atau kegiatan-kegiatan. Sehingga
sebenar-benar matematika bagi anak adalah suatu kegiatan.