Selasa, 17 Oktober 2017

Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu Tanggal 10 Oktober 2017 Narasi Besar Dunia Oleh : Prof. Dr. Marsigit M.A.



Perkembangan filsafat dari awal jaman hingga akhir jaman bagaikan air yang mengalir dari sumber mata air pegunungan hingga ke lautan yang luas. Dengan sumber mata airnya ada di zaman jaman dahulu, sedangkan hilirnya ada di jaman akhir atau modern. Berbeda dengan kehidupan di jaman dahulu yang masih murni apa adanya, kehidupan di zaman modern dipenuhi dengan hoax dan manipulasi politik sehingga kehidupan manusia bagaikan ikan kecil dilaut yang tercemar oleh limbah pabrik. Diibaratkan demikian karena perilaku ikan kecil yang terkena limbah pabrik berenang tak tentu dan tak beraturan seperti perilaku manusia di zaman modern yang kebingungan menentukan sikap. Maka berbahagialah seorang manusia yang masih menjadi ikan kecil yang berenang teratur, artinya manusia itu tidak termakan berita hoax.
Berita hoax di zaman modern semakin merajalela diakibatkan mudahkan pertukaran informasi dalam segala bahasa melalui informasi internet, media sosial, komunikasi dengan aplikasi chat, Blogging, Media Elektronik, dan lain-lain. Hampir semua kegiatan yang dilakukan manusia pada zaman modern ini adalah bahasa. Prof. Marsigit menyampaikan bahwa sebenar-benar filsafat adalah bahasa; sebenar-benar dirimu adalah bahasamu; sebenar-benar rumahku adalah bahasa; dan sebenar-benar pikiran adalah bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang dapat dinilai dari apa yang ia ucapkan dan ceritakan ke lingkungan sosialnya. Dalam hal ini filsafat ialah menyampaikan apa yang ada di pikiran dan berusaha memahami apa yang ada di luar pikiran. Meski tidak mungkin bagi orang untuk menyampaikan isi pikirannya benar-benar secara utuh. Karena pemikiran manusia tidak mudah untuk direpresentasikan hanya dengan bahasa.
Pada awal mulanya pemikiran manusia (filsafat) terbagi menjadi dua dunia, yaitu dunia langit dan dunia kenyataan. Kedua dunia itu cair dan padu. Akan tetapi pada perjalanannya kedua dunia itu menjadi terkanalisasi, terpisah, tidak padu, dan ada kecenderungan intolerisme. Hal ini dikarenakan perkembangan dan perbedaan pemikiran antar satu individu dengan individu lain seiring perkembangan zaman. Sehingga tidak dapat dipungkiri, munculnya dua kubu yang bertentangan itu pasti terjadi. Dua kubu itu adalah spiritualisme dan materialism.
Keyakinan (spiritualisme) berada di dunia langit, di dalamnya terdapat keyakinan akan Tuhan Yang Maha Esa, prinsip dan aturannya adalah bersifat absolut (absolutisme) dan tunggal (monoisme). Spiritualisme ini hendaknya dipahami dengan menggunakan hati, ketetapan dan kebenaran Kitab Suci agama tak perlu dipikirkan dengan pikiran, biarlah hati meyakini kebenaran tersebut, dan kita laksanakan apa yang tertulis dan dinyatakan dalam Kitab Suci agama kita masing-masing.
Sedangkan Prof. Marsigit menekankan bahwa yang satu dan tunggal (monoisme), yang absolut (absolutisme) hanya bisa dimiliki oleh Tuhan. Sebenar-benar prinsip monoisme dan absolutisme adalah kuasa Tuhan yang sudah tertulis pada Kitab Suci Agama. Oleh karena itu semua yang ada di dunia ini bersifat plural (pluralisme) dan relatif (relativisme). Contohnya, seorang laki-laki saat ini ia adalah ayah dari anak-anaknya, tetapi beberapa belas tahun yang lalu ia adalah anak remaja dari ayahnya, sedangkan beberapa puluh tahun mendatang ia mungkin saja seorang kakek dari cucu-cucunya. Maka seorang lelaki tersebut relative tergantung ruang dan waktunya. Oleh karena itu penting bagi kita berperilaku sesuai ruang dan waktu.
Hal penting selain ruang dan waktu ialah intuisi. Pada perkuliahan ini, Prof. Marsigit mengatakan bahwa pada dasarnya kehidupan di dunia ini berjalan berdasarkan intuisi, yaitu pengetahuan atau kemampuan yang dimiliki seseorang. Ciri-ciri sesuatu hal itu adalah intuisi yaitu apabila hal tersebut dapat kita mengerti dan pahami tetapi kita sendiri tidak ingat sejak kapan dan bagaimana kita memiliki kemampuan tersebut. Sebagai contoh tentang konsep cinta, sayang, kasihan, cantik, jelek, marah, bahagia, sedih, dan lain-lain. Kita mengerti dan mampu membedakan masing-masing istilah tersebut, tetapi kita tidak ingat sejak kapan kita mendapatkan konsep atau pengertiannya.
Hal penting lain setelah intuisi adalah pengetahuan. Immanuel Kant berpendapat bahwa Ilmu Pengetahuan itu didapatkan dengan cara sintetik apriori yaitu didapatkan dengan cara apriori (dapat memahami suatu hal sebelum kita melihatnya mengalaminya hanya dengan asumsi) atau dengan cara aposteriori (dapat memahami suatu hal hanya setelah kita melihat atau mengalaminya).

Matematika murni atau matematika orang dewasa bersifat apriori, yang mana menurut Immanuel Kant belum cukup untuk disebut pengetahuan, sedangkan matematika sekolah atau anak bersifat realisme, kongkrit dan aposteriori. Pada ranah pendidikan, suatu pengetahuan di sekolah khususnya matematika bagi anak-anak didapat melalui cara aposteriori. Sedangkan matematika orang dewasa merupakan pengetahuan dengan cara apriori. Jika kita bandingkan matematika dewasa (matematika murni) dengan matematika anak (pendidikan matematika) maka hasilnya akan sangat berbeda. Sehingga Ilmu bagi anak itu tidak ada. Pengetahuan bagi anak itu didapat dari pengalaman, sehingga seyogyanya setiap mata pelajaran yang disampaikan kepada anak-anak sebaiknya berupa aktifitas-sktifitas atau kegiatan-kegiatan. Sehingga sebenar-benar matematika bagi anak adalah suatu kegiatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar